Aksara Korea-Hangeul Juga Dipakai di Indonesia?

Bagi yang mengaku K-Popers tulen, asli, tentu akan mengenal aksara Korea yang sekarang dipakai ini atau disebut juga dengan aksara Hangeul (baca: Han-gul) atau yang berarti huruf bangsa Hangeug (sebutan kuno orang Korea).

Ringkas mengenai Hangeul.

Pada zaman dahulu kala, sebelum era Joseon, untuk menulis bahasa sehari-hari negeri yang sekarang ini dipanggil Korea mengadopsi aksara Tiongkok atau yang biasa dikenal dengan Hanja. Namun karena bahasa Korea dengan Tiongkok berasal dari keluarga yang berbeda, Korea tidak bisa tepat menggunakan huruf Hanja. Meski merasa kurang nyaman, banyak di antara mereka tetap menggunakannya.

Hingga pada tahun 1449, era Dinasti Joseon pemerintahan Raja Sejong yang Agung, sebuah aksara baru mulai dikenalkan. Raja Sejong yang Agung yang juga merupakan seorang ilmuwan ini meneliti unit dasar dari bahasa Korea melalui upaya keras bertahun-tahun. Aksara yang ditemukannya itu pun dinamai Hunminjeongeum atau Suara yang tepat diajarkan untuk rakyat.

Inilah keistimewaan Hangeul, merupakan satu-satunya aksara yang diciptakan seorang individu berdasarkan teori kebahasaan yang mendalam, asas-asas filosofis yang tinggi, tidak meniru aksara lain serta elok rupanya.

Dan akhir-akhir ini saya mendengar bahwa aksara tiada duanya di dunia ini digunakan oleh orang Indonesia. Benarkah?



Suku Cia-cia dari Sulawesi Tenggara nekat mengadopsi aksara keluarga lain, mungkin bukan keluarga lain bisa jadi mereka serumpun. Tapi...

Jika kita tilik sejarah mengikuti teori Alfred Lothar Wagener tentang Pergeseran Benua, tidak merusak kemungkinan kalau nenek moyang mereka serumpun. Namun jika dimasukkan ke dalam ilmu logika (saya) pasti tidak ada makhluk yang hidup saat benua bergeser sendiri. Try to think? Jadi sebuah peradaban budaya lahir setelah dataran di bumi benar-benar terpisah. Bayangkan jauhnya semenanjung Korea dengan pulau Sulawesi dan bayangkan juga Vietnam, Kalimantan dan Filipina yang menjadi tabirnya.

Perjalanan Deutro Melayu, atau melayu muda yang menggunakan media pelayaran mungkin bisa jadi salah satu alternatif jawaban dugaan saya. Mungkin di antara orang-orang Korea yang mulai mengenal peradaban berlayar, mengarungi luasnya Laut Cina Selatan memilih wilayah yang cocok menjadi hunian barunya atau kolonialisme, mendarat di Sulawesi bagian tenggara. Mereka berbaur dengan orang pribumi dan mendirikan ras-ras baru, Cia-cia adalah salah satunya.

Karena menurut penjelasan petinggi suku Cia-cia di Kota Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, alasan mengapa Hangeul digunakan mereka adalah dialek yang dilafalkan orang Cia-cia sama dengan orang Korea.

Tahun 2009, berita pemerintah Korea mengizinkan aksara mereka digunakan suku pedalaman di Indonesia mampu menggemparkan dunia namun tidak menggemparkan telinga orang Indonesia. Gimana dunia nggak heboh, apalagi Korea sendiri, bagaimana bisa suku kecil pedalaman Indonesia yang bukan keluarga mereka menggunakan salah satu budaya kebanggaan mereka? Siapa, loe?

Namun, suku Cia-cia ini hanya meminjam aksara Hangeul saja tidak ikut-ikutan memakai bahasa Korea. Mereka masih menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa Wolio asli suku Cia-cia. Sebelum mereka mulai mengenal kemodernan, bahasa ibu masih ditulis sehari-hari dengan aksara Arab tanpa harokat atau istilah Indonesianya aksara gundul. Riwayatnya juga sama dengan Korea ketika mereka masih memakai Hanja, sulit diadaptasikan dengan bahasanya sendiri, aksara gundul mulai ditinggalkan, apalagi kaum muda yang lebih menyukai modernisasi mulai sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa ibu mereka. Ini yang ditakutkan para sesepuh dan tetua di Cia-cia, takut jika bahasa ibu mereka bahasa Wolio akan punah.

Tuhan menyelamatkan mereka dengan mengirim takdir seorang ilmuwan asal Seoul, Korea -Chun Thai Yoon- yang sedang melakukan kunjungan penelitian di Buton. Beliau mengusulkan jika Hangeul diadopsi saja karena ia rasa aksara tersebut cocok sekali dengan dialek Cia-cia yang lebih mirip bahasa Korea. Maka dengan itu banyak para pemuda yang dikirim ke Seoul untuk mempelajari aksara Hangeul setelah itu pulang untuk mengajarkannya kepada anak-anak dan orang-orang Cia-cia. Masyarakat Cia-cia sangat senang sekali dengan ide tersebut, mereka lebih menyukai Hangeul karena bentuknya yang lucu.



Karena persamaan yang unik tersebut akhirnya Kota Bau-bau diberi julukan yang bikin K-Popers penjuru dunia gigit jari, The Twin City of Seoul. Yaps, Kota Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Selatan ini dijadikan kota kembar oleh pemerintah Seoul sama halnya seperti Kyoto, Jepang mengkota-kembarkan Yogyakarta, tapi mereka beda cerita ya, budaya Jogja dengan Jepang beda, kok.

Well. Menurut surveinya Cak Lontong *justkid* 99,9 persen K-Popers khususnya Indonesia pada ngiri semua sama orang Cia-cia.