안녕하세요! 드링킹티입니다~
Wig adalah rambut palsu. Kata wig muncul pertama kali dalam bahasa Inggris periwig sekitar tahun 1675. Kalau di Indonsia, aku tahunya konde hehehehe.
Berbincang mengenai wig dan berkaca pada sejarah, wig bukan hanya sekadar rambut palsu, melainkan juga sebagai alat kebesaran. Wig merupakan tempat diletakkannya gengsi. Di zaman feodal, di Eropa, kalau tidak pakai wig, berarti dia bukan bangsawan. Begitu pula di Korea, wig juga menjadi lambang nobility bagi perempuan Korea. Bedanya, kalau di Eropa dipakai oleh semua gender, sementara di Korea, hanya oleh dipakai perempuan saja.
Wig khas Korea itu disebut Gache (가체) atau Dari (다리). Perempuan dengan kelas sosial tinggi, dan gisaeng biasanya mengenakan wig kebesaran ini *karena wignya memang besaaarr~ Di luar lingkungan gisaeng, gache hanya dipakai oleh perempuan yang sudah menikah.
Berat gache biasanya bisa mencapai 3 - 4 kg tergantung berapa banyak ornamen hiasan di atasnya. Biasanya, perempuan Korea menggunakan emas, perak, koral atau permata untuk hiasan gache. Hiasan tertentu juga menunjukkan bahwa dia adalah perempuan keluarga raja. [1]
Hwang Jini (2006) |
Jeong Nan-jeong (Flower of the Prison, 2016) |
Gache tidak hanya dijumpai dalam drama-drama yang berlatar sejarah kerajaan Joseon saja, gache sebenarnya sudah lebih jauh ada sebelum itu. Di era Joseon, sekitar abad 17 sampai 18-an, gache tidak lagi eksklusif untuk bangsawan dan gisaeng saja, rakyat biasa juga menggunakan gache, sehingga gache menjadi satu hairstyle yang umum. Namun penggunaan gache oleh rakyat biasa terbatas hanya untuk pernikahan saja. Hal itu disebabkan mahalnya harga gache, bahkan bisa sebuah gache itu seharga dengan rumah pondok kecil atau bisa juga melebihinya. Karena keberadaan gache merupakan salah satu syarat wajib dari calon mertua pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan, orangtua pihak perempuan bahkan sampai rela menabung selama 6 - 7 tahun untuk membelikan putrinya gache. Kondisi semacam inilah yang membuat pernikahan di Korea pada saat itu tertunda bertahun-tahun, dan puncaknya di tahun 1760. [2]
Tahun 1788 Raja Jeongjo akhirnya mulai melarang penggunaan gache karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai konfusianisme. [3] Salah satu kasus yang menyebabkan pelarangan gache oleh raja Joseon adalah meninggalnya seorang pengantin putri yang masih muda. Ia menikah pada usia 13 tahun, dan harus mengenakan gache. Meninggalnya pengantin putri yang masih muda ini diindikasi karena tulang lehernya patah, sebab sebelumnya ia menghormat dengan menunduk kepada ayah mertuanya. [4]
Meskipun telah dilarang oleh raja, gache masih populer di beberapa kalangan hingga abad ke-18 berakhir. Awal abad 19, orang-orang dari kelas yangban, kasta tertinggi di Korea, menggunakan jokduri sebagai pengganti gache untuk pengantin putri. Hingga sekarang jokduri masih sering digunakan oleh orang Korea yang melakukan upacara pernikahan secara tradisional.
Putri Hyemyung (My Sassy Girl, 2017) |